Banyak Startup Bangkrut di Indonesia, Ini Beberapa Penyebabnya

Banyak Startup Bangkrut di Indonesia, Ini Beberapa Penyebabnya

Smallest Font
Largest Font

Metapasar - Jumlah perusahaan rintisan atau startup di Indonesia telah meningkat dalam satu dekade terakhir, terutama di kota-kota besar seperti Jakarta, Tangerang, dan Surabaya. Perusahaan rintisan terkemuka seperti Gojek, Tokopedia, dan Ruangguru telah berhasil selama bertahun-tahun meskipun mereka dikenal menggunakan strategi burn rate, yakni seberapa cepat perusahaan rintisan menghabiskan uang tunai atau dana investasi yang dimilikinya. Dengan menerapkan strategi ini, mereka dapat meningkatkan nilai perusahaan ke tingkat unicorn (US$1 miliar) dan decacorn (US$10 miliar).

Namun, startup seperti Gojek, Tokopedia, dan Ruangguru ternyata merupakan pengecualian yang jarang terjadi secara umum. Menerapkan strategi burn rate tidak menjamin bahwa startup akan dengan mudah mencapai keuntungan. Akibatnya, banyak startup di Indonesia hanya mencapai puncaknya dalam satu atau dua tahun sebelum bangkrut. Sebagai contoh, Pegipegi, perusahaan agen perjalanan digital, bangkrut pada Desember 2023. CoHive, perusahaan layanan ruang kerja bersama, bangkrut pada Januari 2023. Fabelio, perusahaan furniture dan interior, menutup layanannya pada Oktober 2022.

Berikut adalah beberapa alasan mengapa sebagian besar startup di Indonesia bangkrut:

Perekrutan Pegawai Berlebihan

Pada saat pertama kali didirikan, perusahaan rintisan biasanya membuka berbagai lowongan pekerjaan, merekrut banyak talenta untuk bekerja. Sebagai perusahaan baru dengan tekanan untuk mencapai target pertumbuhan, tampaknya normal untuk merekrut sejumlah besar pekerja. Namun, karena terlalu banyak, hal ini biasanya menyebabkan over-hiring yang kemudian menyebabkan biaya tinggi pada gaji dan fasilitas, produktivitas berkurang karena kekurangan tanggung jawab dan tugas, dan bahkan kesalahan perekrutan karyawan yang tidak sesuai.

Pengeluaran Berlebihan Untuk Cari Pelanggan

Seiring dengan perkembangan era digital, startup biasanya lebih fokus pada teknologi. Startup ini biasanya ada untuk menyelesaikan masalah sosial dengan solusi berbasis teknologi. Pendekatan ini biasanya menarik investor untuk mendanai perusahaan untuk menjalankan bisnis mereka. Namun, sebagian besar startup menerapkan strategi burn rate yang membuat mereka menghabiskan dana lebih banyak dari yang sebenarnya dibutuhkan. Inti dari pengeluaran berlebihan adalah untuk mengakuisisi sebanyak mungkin pengguna tanpa memprioritaskan keuntungan. Akhirnya, ketika perusahaan menghabiskan uang untuk pengeluaran yang tidak perlu, mereka mungkin tidak memiliki cukup uang untuk berinvestasi dalam hal-hal penting seperti peralatan baru, upaya pemasaran, atau gaji karyawan.

Kekurangan Dana

Sebagian besar startup bangkrut karena pengeluaran yang tidak bijaksana. Karena mereka belum menghasilkan keuntungan, yang bisa mereka lakukan adalah bergantung pada uang investor mereka dan ketika uang itu habis, mereka kesulitan untuk mempertahankan perusahaan, yang membuat mereka harus menggalang dana lagi. Jika perusahaan kekurangan dana, mereka tidak bisa mengembangkan produk atau layanan baru dan membayar gaji karyawan. Ketika hal ini terjadi, perusahaan memiliki peluang besar untuk runtuh. Oleh karena itu, untuk mempertahankan keberlanjutan yang baik, startup harus mengembangkan rencana keuangan untuk menghitung pendanaan yang dibutuhkan, mengalokasikan jumlah untuk setiap kebutuhan, dan memantau sisa dana. Sayangnya, sebagian besar startup di Indonesia yang pernah ada di masa lalu gagal melakukannya.

Kesulitan Mendapat Investor

Tantangan utama yang dihadapi oleh startup selalu terkait dengan pendanaan. Mereka membutuhkan uang untuk bertahan, menghasilkan produk atau layanan baru, mengembangkan bisnis mereka, dan melakukan riset pasar. Satu-satunya cara mereka bisa mendapatkan uang adalah dengan menarik perhatian investor. Namun, menarik perhatian calon investor lebih mudah diucapkan daripada dilakukan. Startup harus mengusulkan model bisnisnya, menyajikan manfaat dan dampaknya, dan berusaha memberikan solusi dengan produk atau layanannya. Setelah semua langkah dilakukan, proposal bisnis tidak akan secara otomatis diterima. Sebagian besar waktu, perusahaan harus mencari investor lain dan memulai proses dari awal lagi. Siklus ini tidak hanya memakan biaya tetapi juga waktu.

Krisis Kepemimpinan

Jika Anda mengikuti berita terbaru tentang perusahaan rintisan, Anda dapat melihat bahwa sebagian besar CEO dan pemiliknya adalah orang-orang yang relatif muda. Mengingat usia mereka, memimpin perusahaan besar mungkin bukan ide terbaik. Sebaliknya, mereka seharusnya berada pada tingkat eksplorasi minat mereka, meningkatkan keterampilan mereka, dan belajar bagaimana membangun karir mereka dari level terendah sebelum dianggap memegang peran kepemimpinan di perusahaan. Kurangnya kepemimpinan yang kompeten sering kali mengakibatkan terhambatnya inovasi, tata kelola perusahaan yang rendah, dan salah arah dalam pengembangan perusahaan.

Terlalu Cepat Mengubah Model Bisnis

Menentukan model bisnis yang tepat sangat penting, terutama bagi startup. Pada tahun pertama berdiri, startup cenderung mengubah model bisnis mereka dalam waktu singkat. Sebagai contoh, perusahaan furniture menerapkan model bisnis A untuk fokus pada layanan interior. Kemudian, setelah enam bulan, mereka mengubah strategi ke model bisnis B yang berfokus pada peralatan dapur. Pergantian cepat ini biasanya menyebabkan kebingungan pelanggan yang ada, dan dampak negatif terbesar adalah pelanggan kemungkinan besar memutuskan untuk mencari perusahaan lain yang sesuai dengan kebutuhan mereka dengan kejelasan yang lebih baik.

Editors Team
Daisy Floren

What's Your Reaction?

  • Like
    0
    Like
  • Dislike
    0
    Dislike
  • Funny
    0
    Funny
  • Angry
    0
    Angry
  • Sad
    0
    Sad
  • Wow
    0
    Wow

Most Viewed