Merger XL Axiata dan Smartfren
Metapasar - PT XL Axiata Tbk (EXCL) dan PT Smartfren Telecom Tbk (FREN) telah menyetujui penggabungan usaha dengan nilai pra-sinergi lebih dari Rp 104 triliun atau setara US$ 6,5 miliar.
Terkait hal tersebut, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyatakan bahwa keputusan merger adalah langkah strategis yang diambil kedua perusahaan. Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal, Keuangan Derivatif, dan Bursa Karbon, Inarno Djajadi, menekankan pentingnya memastikan bahwa merger ini mematuhi semua peraturan yang berlaku.
"OJK tidak memiliki wewenang untuk mendorong atau melarang penggabungan ini selama prosesnya tetap mengikuti aturan, termasuk regulasi di sektor telekomunikasi," ujarnya pada Sabtu (14/12).
OJK telah menerima dokumen terkait penggabungan XL dan Smartfren dan sedang melakukan penelaahan lebih lanjut. Salah satu pertimbangan utama adalah pemenuhan persyaratan hukum, termasuk persetujuan dari Kementerian Komunikasi dan Digital sebagai regulator telekomunikasi.
Detail Kesepakatan Merger
Dalam dokumen prospektus XL Axiata yang dirilis setelah pengumuman merger, disebutkan bahwa entitas gabungan ini akan dikenal sebagai "XL Smart Telecom Sejahtera" (XL Smart). Proses ini akan mengintegrasikan FREN dan Smart Telecom ke dalam XL Axiata.
Presiden Direktur FREN, Merza Fachys, mengonfirmasi bahwa pemegang saham FREN nantinya akan dikonversi menjadi pemegang saham EXCL setelah merger selesai.
"Ya, saham FREN akan dikonversi menjadi saham EXCL," ujar Merza singkat pada Kamis (12/12).
Skema dan Dampak Merger
Penggabungan antara XL Axiata dan Smartfren, dengan nilai transaksi sebesar Rp104 triliun, menjadi yang terbesar di industri telekomunikasi Indonesia. Nilai ini bahkan melampaui merger Indosat Ooredoo dan Hutchison Tri Indonesia pada 2022 yang bernilai Rp90 triliun.
Namun, negosiasi sempat menemui kendala karena kedua pihak ingin menjadi pemegang saham mayoritas. Akhirnya, disepakati skema pembagian ekuitas sebesar 72% untuk XL dan 28% untuk Smartfren. Dalam struktur ini, Sinar Mas, pemilik Smartfren, harus menggelontorkan dana sebesar US$ 475 juta untuk membeli saham Axiata demi mencapai kesepakatan.
Entitas gabungan ini akan memiliki basis pelanggan sekitar 94,5 juta, terdiri dari 58,6 juta pelanggan XL Axiata dan 35,9 juta pelanggan Smartfren. Namun, posisi XL Smart tetap berada di peringkat ketiga di industri telekomunikasi Indonesia, di bawah Telkomsel dengan 159,66 juta pelanggan dan IOH dengan 100,8 juta pelanggan.
Tantangan dan Potensi Keuntungan
Merger ini juga berpotensi menciptakan efisiensi jaringan, seperti pengurangan 20-30% BTS yang tumpang tindih untuk dialihkan ke wilayah yang belum terjangkau layanan. Hal ini diharapkan dapat menambah pelanggan baru sekaligus meningkatkan posisi daya tawar terhadap vendor teknologi.
Meskipun demikian, proses integrasi membawa tantangan tersendiri. Misalnya, duplikasi tugas di antara karyawan dari kedua perusahaan, yang bisa memicu ketidaknyamanan. Namun, manajemen XL Smart telah berjanji tidak akan ada PHK, dan jika terjadi, akan memberikan kompensasi yang layak melalui skema golden handshake.
Dengan total karyawan gabungan sekitar 4.803 orang, merger ini berpotensi menciptakan dinamika baru dalam operasional perusahaan. Namun, langkah ini diyakini dapat meningkatkan daya saing XL Smart di industri telekomunikasi nasional.
Axiata, melalui perwakilannya Vivek Sood dan Dian Siswarini, optimis bahwa praktik pemerintah mengambil sebagian spektrum dari operator yang bergabung tidak akan terjadi kali ini. Mereka berpendapat bahwa Telkomsel sudah memiliki porsi spektrum yang jauh lebih besar dibandingkan XL Smart.
Di masa lalu, ketika Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) masih dikenal sebagai Kominfo, pengambilan sebagian spektrum dari operator hasil merger menjadi salah satu sumber utama PNBP (Penerimaan Negara Bukan Pajak). Pada tahun 2023, total PNBP yang dihasilkan Kominfo mencapai Rp 24 triliun.
Selain dari penjualan spektrum frekuensi, Kominfo juga mendapatkan PNBP melalui setoran BHP (Biaya Hak Penggunaan) frekuensi dan dana USO (Universal Service Obligation). Dana USO ini berasal dari kontribusi sebesar 1,25 persen dari pendapatan operator telekomunikasi, yang menghasilkan sekitar Rp 3,5 triliun per tahun.
PNBP yang diterima oleh Komdigi kemudian disetorkan ke Kementerian Keuangan. Sebagai bentuk apresiasi, sebagian dari dana ini diberikan kembali kepada direktorat jenderal terkait di Komdigi dalam bentuk cash back. Dana cash back tersebut, yang nilainya cukup signifikan, dialokasikan sebagai tunjangan kinerja (tukin) bagi para karyawan, mulai dari pejabat tinggi hingga staf di lapangan.
What's Your Reaction?
-
Like
-
Dislike
-
Funny
-
Angry
-
Sad
-
Wow