Perlombaan Global Energi Terbarukan, Cina Targetkan Afrika

Perlombaan Global Energi Terbarukan, Cina Targetkan Afrika

Smallest Font
Largest Font

Metapasar - Hubungan Cina-Afrika telah semakin dalam selama dua dekade terakhir, ditandai oleh peningkatan kerja sama ekonomi, investasi, dan pembangunan infrastruktur. Cina kini menjadi mitra dagang terbesar Afrika, dengan kerja sama yang berfokus pada pembangunan jalan, rel kereta api, dan proyek energi.

Saat Forum Kerja Sama Cina–Afrika (FOCAC) yang kesembilan dimulai minggu ini di Beijing, sebuah tema baru yang ramah lingkungan membentuk hubungan mereka, yakni perlombaan global energi terbarukan.

Membentuk Hubungan Cina dan Afrika

Krisis iklim global telah mendorong penggunaan teknologi energi terbarukan, seperti tenaga surya atau angin yang dapat mengurangi ketergantungan pada sumber energi yang mencemari. Beberapa tahun lalu, Cina melihat peluang untuk memimpin di industri baru ini.

Sementara itu, Afrika memiliki banyak mineral penting yang dibutuhkan untuk menciptakan teknologi terbarukan, seperti tembaga, kobalt, dan lithium, bahan utama dalam pembuatan baterai. Oleh karena itu, perlombaan untuk energi hijau memicu perebutan mineral-mineral ini di Afrika, dipimpin oleh Cina, Amerika Serikat (AS), dan Eropa.

Kehadiran penambangan Cina di Afrika, yang jauh lebih kecil daripada kehadiran Barat, terkonsentrasi di lima negara, yakni Guinea, Zambia, Afrika Selatan, Zimbabwe, dan Republik Demokratik Kongo (DRC). Di antara negara-negara ini, DRC, Zambia, dan Zimbabwe menjadi pusat perlombaan energi hijau baru di Afrika. Mereka menjadi rumah bagi sabuk tembaga Afrika dan penyimpanan terbesar litium, tembaga, dan kobalt.

DRC sangat penting. Negara ini memiliki cadangan signifikan kobalt, tembaga berkualitas tinggi, serta lithium. Kobalt adalah logam yang sangat keras dengan titik leleh tinggi dan memiliki sifat magnetik. Ini adalah bahan utama dalam baterai lithium. Lebih dari 70% kobalt dunia diproduksi di DRC dan 15%-30% dari itu diproduksi oleh penambangan artisanal (informal) dan skala kecil. 

The Conversations menulis bahwa Cina adalah investor asing terbesar dan mereka memiliki sekitar 72% dari tambang kobalt dan tembaga aktif di DRC, termasuk Tambang Tenke Fungurume, tambang tembaga terbesar kelima di dunia dan tambang kobalt terbesar kedua di dunia. CMOC Group milik Cina adalah perusahaan penambangan kobalt terkemuka di dunia. Mereka bisa memproduksi hingga 70.000 ton, berkat tambang Kisanfu yang baru.

Pada 2019, DRC dan Cina bertanggung jawab atas sekitar 70% produksi kobalt global dan 60% elemen tanah jarang.

Zimbabwe adalah negara lain di mana Cina telah berinvestasi dalam konteks perlombaan energi hijau. Zimbabwe adalah rumah bagi cadangan litium terbesar di Afrika, elemen penting dalam produksi baterai kendaraan listrik. Pada tahun 2023, Prospect Lithium Zimbabwe, anak perusahaan dari perusahaan Cina Zhejiang Huayou Cobalt, membuka pabrik pengolahan litium senilai US$300 juta. Pabrik ini memiliki kapasitas untuk mengolah 4,5 juta ton litium keras per tahun menjadi konsentrat untuk diekspor, di tengah produksi global sekitar 200 juta ton per tahun.

Ada beberapa perkembangan lain di benua ini yang patut diperhatikan. Cina sedang berinvestasi dalam pabrik baterai skala mega pertama di benua ini, yang berlokasi di Maroko.

Kepentingan Cina juga mendapat izin untuk mengembangkan deposit bijih besi berkualitas tinggi terbesar yang belum dieksploitasi di dunia, yang berada di Guinea. Bijih besi, yang digunakan dalam produksi baja, memainkan peran penting dalam sektor energi terbarukan dalam beberapa cara misalnya, baja digunakan dalam turbin angin dan struktur penopang panel surya. Kesepakatan untuk mengeksploitasi deposit bijih besi Simandou melibatkan beberapa negara. Raksasa pembuat baja Cina, Cinalco, adalah salah satu pelaku utama. Produksi dijadwalkan dimulai pada awal 2026.

Kekhawatiran Untuk Afrika

Kendali Cina yang semakin besar atas mineral penting energi terbarukan menghadirkan beberapa tantangan bagi pemasok mineral di Afrika.

Bagi negara-negara Afrika, hal ini menimbulkan kekhawatiran terkait pembangunan, di mana banyak pihak yang ingin menambah nilai pada kekayaan mineral mereka di dalam negeri daripada mengekspor bahan mentah ke Cina dan kemudian mengimpor barang jadi. Cina dikritik karena dianggap mengabaikan kepentingan Afrika dengan menambah nilai di Cina, bukan di Afrika. Banyak orang dan industri di benua Afrika kekurangan akses ke energi yang andal dan terjangkau dan industri lokal ingin menangkap pasar tersebut.

Sebagai contoh, menurut Badan Energi Internasional, Cina mengendalikan lebih dari 80% dari langkah-langkah manufaktur global yang terlibat dalam pembuatan panel surya. Konsentrasi produksi di Cina, bersama dengan persaingan, telah menekan harga panel surya global.

Industri surya Cina ingin menutup kesenjangan energi di Afrika dengan menyediakan energi berkelanjutan untuk jutaan orang yang tidak memiliki akses. Misalnya, pada pertemuan Forum Kerja Sama Cina–Afrika tahun ini, Cina diharapkan untuk memajukan Program Sabuk Surya Afrika. Ini adalah agenda yang didukung oleh World Resources Institute, yang tidak hanya berupaya menggunakan energi surya untuk menutup kesenjangan energi Afrika, tetapi juga fokus pada penyediaan listrik tenaga surya untuk sekolah dan fasilitas kesehatan.

Beberapa negara, seperti Afrika Selatan, menanggapi dengan memberlakukan tarif pada impor panel surya untuk melindungi industri lokal mereka. Ada juga kekhawatiran bahwa perlombaan menuju energi terbarukan, dan pendekatan perusahaan sektor pertambangan Cina di Afrika, memperburuk kondisi pekerja. Perluasan tambang di beberapa negara juga menyebabkan pengusiran paksa dan pelanggaran hak asasi manusia.

Editors Team
Daisy Floren

What's Your Reaction?

  • Like
    0
    Like
  • Dislike
    0
    Dislike
  • Funny
    0
    Funny
  • Angry
    0
    Angry
  • Sad
    0
    Sad
  • Wow
    0
    Wow

Most Viewed